Nabila Df Sekertaris KOPRI PC PMII Wonosobo 2022-2023
Ibu bumi wes maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili” merupakan syair yang dilantunkan oleh para petani Pegunungan Kendeng sebagai pujian terhadap alam. Syair tersebut diciptakan oleh masyarakat komunitas adat Sedulur Sikep yang mendiami kawasan pegunungan Kendeng. Mereka percaya bahwa bumi adalah seorang ibu yang harus dirawat, dijaga dan tidak boleh disakiti. Bumi dianggap sebagai seorang ibu karena bumi mengandung dan melahikan kehidupan bagi makhluk yang hidup didalamnya.
Industrialisasi, kemajuan teknologi dan gaya hidup bangsa-bangsa maju telah mempercepat akselerasi kemerosotan lingkungan di seluruh dunia. Salah satu faktor terburuk dari krisis lingkungan yang saat ini hadir adalah mitos pembangunan yang dibawa oleh negara maju. Pemahaman bahwa pembangunan merupakan hal yang dapat membawa ke ranah kemakmuran ternyata hanya dapat di peroleh oleh segelintir orang saja.
Pembangunan semata-mata dititikberatkan pada model kemajuan ekonomi industri Barat, dengan asumsi bahwa kemajuan model Barat itu bisa di terapkan di semua negara. Pengalihan kepentingan alam ke dalam ekonomi pasar mengakibatkan kelangkaan sumber daya alam yang yang seharusnya bermanfaat bagi stabilitas ekologi. Hal ini kemudian menciptakan bentuk kemiskinan baru bagi semua orang khususnya perempuan dan anak-anak. Beberapa kasus konflik lingkungan di Indonesia yang mengatasnamakan pembangunan yang katanya untuk ‘kemakmuran’ justru malah menambah derita masyarakat, politik ekologi yang bertujuan untuk akumulasi kapital telah menjauhkan manusia dari sumber produksi pangan, yaitu tanah. Pembangunan yang tidak berkeadilan akan selalu membutuhkan tumbal, yaitu alam (hewan, tumbuhan, manusia dan benda mati lainnya).
Bagi Negara dunia ketiga seperti Indonesia, sangat mustahil untuk mengejar pembangunan gaya Barat. Pembangunan Negara maju membutuhkan Negara berkembang sebagai korban, sedangakan Negara berkembang akan berperan menjadi koloni atau penjajah di Negara sendiri. Pembangunan saat ini jauh dari kata sejahtera karena bersifat ugal-ugalan dan cenderung meperhatikan kepentingan segelintir orang, seperti pembangunan tol, pembangunan industri, dan lainnya. Hal ini juga berimbas pada berkurangnya ruang hijau. Ruang hijau yang dijadikan sebagai daerah penghasil sumber pangan berkurang dan menyebabkan berpindahnya pekerjaan dari langsung bersentuhan pada sumber pangan ke pekerjaan lain seperti buruh.
Pembangunan tak hanya memisahkan masyarakat dari mata pencahariannya tapi juga dari tempat tinggalnya. Penggusuran mengakibatkan semakin bertambahnya kawasan padat penduduk, hal ini biasanya dikatakan sebagai over population. Kelebihan populasi hanyalah sebuah ilusi yang dibangun elit kapital untuk menggiring fokus dari dampak pembangunan ke perilaku masyarakat sendiri. Kelebihan populasi terjadi bukan karena perkembangbiakan manusia yang semakin banyak, tapi karena tidak meratanya ruang huni masyarakat serta alih fungsi lahan. Lahan yang tadinya bisa dihuni oleh ratusan juta manusia di alih fungsi sebagai lahan produktif para kapital. Kepemilikan tanah yang sangat timpang menjadi bukti nyata, sebagian besar masyarakat hanya memiliki beberapa meter atau kurang dari berhektar-hekar tanah yang dimiliki elit kapital.
Permasalahan lain dari pembangunan adalah tidak memperhatikan jangka panjang. Pembangunan yang bersifat eksploitatif dan sangat merusak ini mengancam keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Indikator yang tidak bisa di pelihatkan oleh pembangunan adalah kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Sumber daya alam semakin tererosi oleh permintaan ekonomi pasar. SDA yang seharusnya bisa di pakai berpuluh-puluh tahun mendatang habis dalam kurun waktu sebentar. Penghancuran ruang hidup juga akan berimbas pada bencana lain, seperti bencana alam, wabah, kelaparan, kemiskinan ektrim. Pada tahun 2019 silam muncul wabah Covid 19 yang berasal dari virus kelelawar. Hal ini bukan tanpa sebab, menurut Bosman Batubara eksploitasi dan pembangunan yang ugal-ugalan telah menghasilkan moda kapitalisme.
Di bumi terdapat jutaan makhluk hidup yang pada awalnya memiliki ruang hidupnya masing-masing, ada pula makhluk yang tak terlihat seperti mikroba. Mikroba tersebut yang awalnya hidup pada tumbuhan A misalnya, ketika tumbuhan A terancam punah microba akan mencari inang lain, sampailah ia pada kelelawar dan akhirnya manusia. Tidak menutup kemungkinan akan ada bencana wabah baru lagi ketika eksploitasi alam tidak di hentikan.
Oleh : Puput Novita, Aktifis perempuan Wonosobo dan Ketua KOPRI PMII Wonosobo.