Eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) banyak mendapat sorotan dari publik. Mulai dari operasi tangkap tangan (OTT) oknum auditor di Bekasi, kasus dugaan suap Bupati Bogor kepada oknum auditor BPK, sampai pada isu dugaan jual beli opini pemeriksaan.
Selain dugaan kasus-kasus yang melibatkan oknum pegawai, sorotan tajam juga kerap dialamatkan pada proses pemilihan anggota BPK. Kita ingat, pada pemilihan anggota badan audit negara tahun 2021 misalnya, muncul fenomena yang menghebohkan yaitu terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana.
Diketahui, kandidat ini diduga tidak memenuhi salah satu syarat yang diwajibkan oleh UU BPK. Anehnya, alih-alih menganulir calon bermasalah ini, Komisi XI DPR tetap memilih Nyoman sebagai Anggota BPK. Rencana gugatan hukum oleh sejumlah pihak pun macet di tengah jalan.
Menjelang pemilihan Anggota BPK tahun 2022 ini tidak terlepas dari fenomena yang perlu mendapat perhatian dari publik. Fenomena itu adalah perebutan 1 (satu) kursi pimpinan BPK yang menjadi “jatah partai”.
Diketahui, pemilihan anggota BPK tahun ini untuk menggantikan almarhum Harry Azhar Azis yang merupakan mantan politisi Partai Golkar. Jadi, berdasarkan informasi yang beredar, posisi kursi pimpinan BPK kali ini diincar oleh salah satu partai dengan kode “jatahnya kuning”.
Dalam dokumen calon Anggota BPK yang telah diuji di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), terdapat 3 (tiga) politisi atau mantan politisi Golkar yaitu Ahmadi Noor Supit, Izhari Mawardi, dan Abdul Rahman Farisi. Politisi lainnya adalah Wahyu Sanjaya dari Partai Demokrat. Sedangkan 5 (lima) nama lainnya adalah Nugroho Agung Wijoyo (Kemenkeu), Rachmat Manggala Purba (konsultan), Tjipta Purwita (Mantan Dirut Inhutani II, Dori Santosa (BPK), Erryl Prima Putera Agoes (Kejagung).
Memang, pro dan kontra Anggota BPK berlatar belakang politisi telah mengemuka sejak lama. Bahkan ada adagium satir yang pernah mengemuka bahwa pemilihan Anggota BPK adalah hajat politik “dari politisi, oleh politisi, untuk politisi”. Adagium tersebut muncul sebagai kritik atas banyaknya mantan Anggota Komisi XI DPR yang ramai-ramai berpindah kantor ke Gedung BPK.
Di dalam UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK memang tidak melarang politisi atau mantan politisi untuk menjadi Anggota BPK. Terlebih, persyaratan calon Anggota BPK yang termuat di dalam pasal 13 UU BPK merupakan syarat-syarat bersifat normatif, sekalipun jika terpilih harus mengundurkan diri dari partai politik.
Namun, hal penting yang patut kita cermati jika politisi kembali terpilih sebagai Anggota BPK. Komposisi Anggota BPK saat ini didominasi oleh mantan politisi, yaitu Ketua BPK Ismayatun (mantan Komisi XI dari PDI Perjuangan), Daniel Lumban Tobing (mantan mantan Komisi XI dari PDI Perjuangan), Achsanul Qosasi (mantan Komisi XI dari Partai Demokrat), almarhum Harry Azhar Azis (mantan Komisi XI dari Partai Golkar), Pius Lustrilanang (mantan politisi Partai Gerindra), Haerul Saleh (mantan politisi Partai Gerindra).
Publik khawatir jika pimpinan BPK mayoritas diisi mantan politisi maka pengambilan keputusan tingkat tinggi dalam Sidang Badan akan disinyalir lebih bernuansa politis. Walhasil, publik bisa saja meragukan produk-produk audit yang dihasilkan BPK karena ada tendensi kepentingan politik di dalamnya. Di sinilah independensi dan integritas BPK dipertaruhkan.
Karena itu, saatnya BPK kembali ke khittahnya sebagai lembaga tinggi negara yang bebas dan mandiri serta benar-benar menjalankan prinsipnya dengan menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalisme. Marwah BPK harus dijaga dengan menempatkan orang sesuai keahliannya, the right man on the right place. (*).
Oleh: Prasetyo
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Keuangan Negara & Humas Koalisi Save BPK)